Kegiatan Belajar 1
PEMIKIRAN DAN PELAKSANAAN
PANCASILA
Berbagai bentuk penyimpangan terhadap pemikiran dan pelaksana-an
Pancasila terjadi karena dilanggarnya prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan.
Prinsip-prinsip itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu prinsip ditinjau dari
segi intrinsik (ke dalam) dan prinsip ditinjau dari segi ekstrinsik (ke luar).
Pancasila dari segi intrinsik harus konsisten, koheren, dan koresponden,
sementara dari segi ekstrinsik Pancasila harus mampu menjadi penyalur dan
penyaring kepentingan horisontal maupun vertikal.
Ada beberapa pendapat yang mencoba menjawab jalur-jalur apa yang dapat
digunakan untuk memikirkan dan melaksanakan Pancasila. Pranarka (1985)
menjelaskan adanya dua jalur formal pemikiran Pancasila, yaitu jalur pemikiran
politik kenegaraan dan jalur pemikiran akademis. Sementara Profesor Notonagoro
(1974) menjelaskan adanya dua jalur pelaksanaan Pancasila, yaitu jalur objektif
dan subjektif.
Sejarah perkembangan pemikiran Pancasila menunjukkan adanya
kompleksitas permasalahan dan heteregonitas pandangan. Kompleksitas
permasalahan tersebut meliputi (1) masalah sumber; (2) masalah tafsir; (3)
masalah pelaksanaan; (4) masalah apakah Pancasila itu Subject to change; dan
(5) problem evolusi dan kompleksitas di dalam pemikiran mengenai pemikiran Pancasila.
Permasalahan tersebut mengundang perdebatan yang sarat dengan kepentingan.
Pemecahan berbagai kompleksitas permasalahan di atas dapat ditempuh dengan dua
jalur, yaitu jalur pemikiran politik kenegaraan, dan jalur pemikiran akademis.
Jalur pemikiran kenegaraan yaitu penjabaran Pancasila sebagai
ideologi bangsa, Dasar Negara dan sumber hukum dijabarkan dalam berbagai
ketentuan hukum dan kebijakan politik. Para penyelenggara negara ini berkewajiban menjabarkan nilai-nilai
Pancasila ke dalam perangkat perundang-undangan serta berbagai kebijakan dan
tindakan. Tujuan penjabaran Pancasila dalam konteks ini adalah untuk mengambil
keputusan konkret dan praktis. Metodologi yang digunakan adalah memandang hukum
sebagai metodologi, sebagaimana yang telah diatur oleh UUD.
Permasalahan mengenai Pancasila tidak semuanya dapat dipecahkan
melalui jalur politik kenegaraan semata, melainkan memerlukan jalur lain yang
membantu memberikan kritik dan saran bagi pemikiran Pancasila, jalur itu adalah
jalur akademis, yaitu dengan pendekatan ilmiah, ideologis, theologis, maupun
filosofis.
Pemikiran politik kenegaraan tujuan utamanya adalah untuk
pengambilan keputusan atau kebijakan, maka lebih mengutamakan aspek pragmatis,
sehingga kadang-kadang kurang memperhatikan aspek koherensi, konsistensi, dan
korespondensi. Akibatnya kadang berbagai kebijakan justru kontra produktif dan
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian pemikiran akademis
berfungsi sebagai sumber bahan dan kritik bagi pemikiran politik kenegaraan. Sebaliknya
kasus-kasus yang tidak dapat dipecahkan oleh para pengambil kebijakan merupakan
masukan yang berharga bagi pengembangan pemikiran akademis. Setiap pemikiran
akademis belum tentu dapat diterapkan dalam kebijakan politik kenegaraan,
sebaliknya setiap kebijakan politik kenegaraan belum tentu memiliki validitas
atau tingkat kesahihan yang tinggi jika diuji secara akademis.
Jalur pemikiran ini sangat terkait dengan jalur pelaksanaan.
Pelaksanaan Pancasila dapat diklasifikasikan dalam dua jalur utama, yaitu
pelaksanaan objektif dan subjektif, yang keduanya merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan.
Pelaksanaan objektif adalah pelaksanaan dalam bentuk realisasi
nilai-nilai Pancasila pada setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang
legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, dan semua bidang kenegaraan dan
terutama realisasinya dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara Indonesia. Pelaksanaan subjektif, artinya pelaksanaan dalam
pribadi setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa
dan setiap orang Indonesia. Menurut Notonagoro pelaksanaan Pancasila secara
subjektif ini memegang peranan sangat penting, karena sangat menentukan
keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan Pancasila. Pelaksanaan subjektif ini
menurut Notonagoro dibentuk secara berangsur-angsur melalui proses pendidikan,
baik pendidikan formal, non formal, maupun informal di lingkungan keluarga dan
masyarakat. Hasil yang akan diperoleh berupa pengetahuan, kesadaran, ketaatan,
kemampuan dan kebiasaan, mentalitas, watak dan hati nurani yang dijiwai oleh
Pancasila.
Sebaik apa pun produk perundang-undangan, jika tidak dilaksanakan
oleh para penyelenggara negara maka tidak akan ada artinya, sebaliknya sebaik
apa pun sikap mental penyelenggara negara namun tidak didukung oleh sistem dan
struktur yang kondusif maka tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal.
Pelaksanaan Pancasila secara objektif sebagai Dasar Negara membawa
implikasi wajib hukum, artinya ketidaktaatan pada Pancasila dalam artian ini
dapat dikenai sanksi yang tegas secara hukum, sedangkan pelaksanaan Pancasila
secara subjektif membawa implikasi wajib moral. Artinya sanksi yang muncul
lebih sebagai sanksi dari hati nurani atau masyarakat.
Kegiatan Belajar 2
REFORMASI PEMIKIRAN DAN
PELAKSANAAN PANCASILA
Reformasi secara sempit dapat diartikan sebagai menata kembali
keadaan yang tidak baik menjadi keadaan yang lebih baik. Reformasi kadang
disalahartikan sebagai suatu gerakan demonstrasi yang radikal, “semua boleh”,
penjarahan atau “pelengseran” penguasa tertentu. Beberapa catatan penting yang
harus diperhatikan agar orang tidak salah mengartikan reformasi, antara lain
sebagai berikut.
1.
Reformasi bukan revolusi
2.
Reformasi memerlukan proses
3.
Reformasi memerlukan perubahan dan berkelanjutan
4.
Reformasi menyangkut masalah struktural dan kultural
5.
Reformasi mensyaratkan adanya skala prioritas dan agenda
6.
Reformasi memerlukan arah
Berbagai faktor yang mendorong munculnya gerakan reformasi antara
lain: Pertama, akumulasi kekecewaan masyarakat terutama ketidakadilan di bidang
hukum, ekonomi dan politik; kedua, krisis ekonomi yang tak kunjung selesai;
ketiga, bangkitnya kesadaran demokrasi, keempat, merajalelanya praktek KKN,
kelima, kritik dan saran perubahan yang tidak diperhatikan.
Gerakan reformasi menuntut reformasi total, artinya memperbaiki
segenap tatanan kehidupan bernegara, baik bidang hukum, politik, ekonomi,
sosial-budaya, hankam dan lain-lain. Namun pada masa awal gerakan reformasi,
agenda yang mendesak untuk segera direalisasikan antara lain: pertama, mengatasi
krisis; kedua, melaksanakan reformasi, dan ketiga melanjutkan pembangunan.
Untuk dapat menjalankan agenda reformasi tersebut dibutuhkan acuan nilai, dalam
konteks ini relevansi Pancasila menarik untuk dibicarakan.
Eksistensi Pancasila dalam reformasi di tengah berbagai tuntutan
dan euforia reformasi ternyata masih dianggap relevan, dengan pertimbangan,
antara lain: pertama, Pancasila dianggap merupakan satu-satunya aset nasional
yang tersisa dan diharapkan masih dapat menjadi perekat tali persatuan yang
hampir koyak. Keyakinan ini didukung oleh peranan Pancasila sebagai pemersatu,
hal ini telah terbukti secara historis dan sosiologis bangsa Indonesia yang
sangat plural baik ditinjau dari segi etnis, geografis, maupun agama. Kedua,
Secara yuridis, Pancasila merupakan Dasar Negara, jika dasar negara berubah,
maka berubahlah negara itu. Hal ini didukung oleh argumentasi bahwa para
pendukung gerakan reformasi yang tidak menuntut mengamandemen Pembukaan UUD
1945 yang di sanaterkandung pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 yang
merupakan perwujudan nilai-nilai Pancasila.
Kritik paling mendasar yang dialamatkan pada Pancasila adalah
tidak satunya antara teori dengan kenyataan, antara pemikiran dengan
pelaksanaan. Maka tuntutan reformasi adalah meletakkan Pancasila dalam satu
kesatuan antara pemikiran dan pelaksanaan. Gerakan reformasi mengkritik
kecenderungan digunakannya Pancasila sebagai alat kekuasaan, akhirnya hukum
diletakkan di bawah kekuasaan. Pancasila dijadikan mitos dan digunakan untuk
menyingkirkan kelompok lain yang tidak sepaham.
Beberapa usulan yang masih dapat diperdebatkan namun kiranya
penting bagi upaya mereformasi pemikiran Pancasila, antara lain: Pertama,
mengarahkan pemikiran Pancasila yang cenderung abstrak ke arah yang lebih
konkret. Kedua, mengarahkan pemikiran dari kecenderungan yang sangat ideologis
(untuk legitimasi kekuasaan) ke ilmiah. Ketiga, mengarahkan pemikiran Pancasila
dari kecenderungan subjektif ke objektif, yaitu dengan menggeser pemikiran
dengan menghilangkan egosentrisme pribadi, kelompok, atau partai, dengan
menumbuhkan kesadaran pluralisme, baik pluralisme sosial, politik, budaya, dan
agama.
Berbagai bentuk penyimpangan, terutama dalam pemikiran politik
kenegaraan dan dalam pelaksanaannya dimungkinkan terjadi karena beberapa hal,
di antaranya, antara lain: Pertama, adanya gap atau ketidakkonsisten dalam
pembuatan hukum atau perundang-undangan dengan filosofi, asas dan norma
hukumnya. Ibarat bangunan rumah, filosofi, asas dan norma hukum adalah pondasi,
maka undang-undang dasar dan perundang-undangan lain di bawahnya merupakan
bangunan yang dibangun di luar pondasi. Kenyataan ini membawa implikasi pada
lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara tidak dapat memerankan fungsinya
secara optimal. Para ahli hukum mendesak untuk diadakan amandemen UUD 1945 dan
mengembangkan dan mengoptimalkan lembaga judicial review yang memiliki
independensi untuk menguji secara substansial dan prosedural suatu produk
hukum.
Kedua, Kelemahan yang terletak pada para penyelenggara negara
adalah maraknya tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme, serta pemanfaatan hukum
sebagai alat legitimasi kekuasaan dan menyingkirkan lawan-lawan politik dan
ekonomisnya.
Sosialisasi Pancasila juga mendapat kritik
tajam di era reformasi, sehingga keluarlah Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 untuk
mencabut Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang P-4. Berbagai usulan pemikiran tentang
sosialisasi Pancasila itu antara lain: menghindari jargon-jargon yang tidak
berakar dari realitas konkret dan hanya menjadi kata-kata kosong tanpa arti,
sebagai contoh slogan tentang “Kesaktian Pancasila”, slogan bahwa masyarakat
Indonesia dari dulu selalu berbhineka tunggal ika, padahal dalam kenyataan
bangsa Indonesia dari dulu juga saling bertempur, melaksanakan Pancasila secara
murni dan konsekuen, dan lain-lain. Menghindari pemaknaan Pancasila sebagai
proposisi pasif dan netral, tetapi lebih diarahkan pada pemaknaan yang lebih
operasional, contoh: Pancasila hendaknya dibaca sebagai kalimat kerja aktif,
seperti masyarakat dan negara Indonesia harus ….. mengesakan Tuhan, memanusiakan manusia agar lebih adil
dan beradab, mempersatukan Indonesia, memimpin rakyat
dengan hikmat/kebijaksanaan dalam suatu proses permusyawaratan perwakilan,
menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sosialisasi diharapkan
juga dalam rangka lebih bersifat mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan
membodohkannya sebagaimana yang terjadi pada penataran-penataran P-4, sehingga
sosialisasi lebih kritis, partisipatif, dialogis, dan argumentatif.
0 Response to "PELAKSANAAN PANCASILA"
Post a Comment